-->
Nyalakan.com

follow us

Sastra Indonesia dan Skeptisisme (Bagian Satu)

Nyalakan.com - Sesungguh-sungguhnya saya agak malas menulis hal seperti ini. Tapi, ya, daripada-daripada saya ditanya dan dihadapkan kepada hal yang sama berulang-ulang, ada baiknya saya jelaskan walaupun sekali mengenai hubungan sastra Indonesia dan skeptisisme
Sesungguh-sungguhnya saya heran dengan mahasiswa lulusan jurusan Sastra Indonesia yang mengeluh karena kesulitan mendapatkan pekerjaan atau merasa kecewa dengan jurusannya. Kalau kecewa ya, pindah jurusan aja kan gampang kan? Cukup ikut tes tertulis lagi dengan persiapan yang sungguh-sungguh. Di zaman universitas yang berceceran di mana-mana ini, tentu hal ini tidak terlalu sulit.

Susah mendapatkan pekerjaan?

Saya berani menjamin ada 1.000.000.000.000 lebih pekerjaan untuk lulusan Sastra Indonesia. Ada banyak penerbit dan media yang membutuhkan editor atau penulis. Belum lagi, sekarang banyak sekali media atau toko-toko online. Kemarin, bahkan, saya baru bertemu dengan seseorang dari salah satu kementrian yang sedang mengelola laman online untuk memasarkan banyak produk UKM. Ia mengatakan bahwa ia membutuhkan sekali banyak penulis untuk mendeskripsikan barang-barang yang akan dijual. Itu belum termasuk pekerjaan di bidang pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing, yang sekarang lembaganya semakin menjamur, terutama di Bali, pengajar bahasa Indonesia di Australia atau negara lain, dan pengajar bahasa Indonesia di sekolah internasional maupun yang tidak internasional. Belum lagi lembaga-lembaga perencanaan dan penelitian bahasa. Belum lagi bidang sastra yang luasnya melebihi samudra. Gaji yang diberikan pun beragam dari yang standar hingga yang sangat tinggi. Masih kesulitan mendapatkan pekerjaan? Skeptisisme bukan? Mungkin kesalahan ada pada tingkat ke-pe-de-an lulusannya.

Tingkat ke-pede-an yang saya maksud adalah kualitas. Ya, inilah sumber utamanya. Kalau Anda selidiki sekian banyak lulusan Sastra Indonesia, mungkin Anda hanya menemukan sedikit sekali dari mereka yang benar-benar bisa dan pandai menulis. Akibatnya, mereka cenderung menghindari pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan penulisan, atau bahkan sama sekali tidak bisa mengendus bahwa ada pekerjaan-pekerjaan yang sangat-sangat dekat dengan bidang penulisan. Mereka terfokus kepada hal-hal yang sudah dilakukan oleh pendahulunya, menjadi editor misalnya. Dalam arti lain, mereka menghindari pekerjaan.

Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah mereka tidak bergaul secara luas. Mahasiswa jurusan bahasa asing di universitas saya, rata-rata sudah memulai membuka jaringan dengan orang asing, misalnya Jepang, sejak mereka kuliah. Dengan demikian, ketika masuk ke dunia kerja, mereka lebih gampang memutuskan untuk memilih di sebuah perusahaan. Anehnya lagi, beberapa dari mereka mampu dengan sangat yakin mengajari orang asing berbahasa Indonesia. Padahal, seharusnya, bukan tidak boleh lho, ya, pengajar bahasa Indonesia memiliki pengetahun mengenai prinsip dasar bahasa Indonesia.

Nah, pertanyaannya adalah mahasiswa jurusan Sastra Indonesianya ada di mana? Mereka kan memiliki alat. Jawabannya adalah meskipun memiliki alat, mereka gagal dalam memasarkan alat tersebut. Perdagangan macam apa yang akan terjadi tanpa proses pemasaran yang baik? Paling tidak para lulusan Sastra Indonesia harus mampu berbahasa asing untuk melakukan pendekatan. Tapi apa mereka bisa? Wong, pas ditanya kenapa masuk jurusan Sastra Indonesia jawabannya karena tidak ada bahasa Inggrisnya. Kecuali, kalau mereka mendekati orang asing lewat lembaga pendidikan yang sudah dikenal. Misalnya, lembaga bahasa di universitas negeri. Yang sudah teruji metode pengajarannya. Yang sudah berani bilang bahwa untuk mengajari orang asing bahasa Indonesia, cukup menggunakan bahasa Indonesia. Tidak perlu bahasa penutur.

Ambil contoh. Sebuah majalah kebudayaan milik orang Jepang yang ditulis dengan versi Jepang dan Inggris. Suatu hari, mereka ingin membuat versi berbahasa Indonesia. Untuk mengisi posisi ini, kira-kira dibutuhkan mahasiwa lulusan Sastra Indonesia yang pintar menulis, paling tidak fasih berbahasa Inggris, serta mampu memahami kultur bekerja orang jepang. Cobalah Anda tanya kepada mahasiswa lulusan Sastra Indonesia yang nyaris pesimis, kamu sanggup gak? Jadi, siapa yang menghindari pekerjaan?

Perasaan kalah serupa ini tentu tidak terjadi untuk mahasiswa Sastra Indonesia saja. Beberapa jurusan lain, yang sering menganggap diri mereka minor, saya pikir juga mengalami hal yang sama. Menyedihkan tentu saja, bahwa ada sekelompok anak muda yang sedang menghancurkan semangat hidup mereka sendiri.

Akan tetapi, hal yang paling menyedihkan dibandingkan segala hal tersebut adalah betapa mengecewakannya ketika saya harus melihat anak muda yang dengan gampang mengatakan bahwa ilmu yang mereka peroleh justru membuat suasana kehidupan mereka menjadi terasa buruk, padahal, manuskrip Tuhan jauh-jauh hari sudah mengatakan bahwa ilmu akan mengangkat derajat seseorang. Jadi, jika derajat Anda tak kunjung naik, mungkin Anda belum penuh memahami ilmu. Atau justru Anda sebenarnya belum mengerti apa yang dimaksud dengan ilmu? Jadi, segeralah belajar dan berhenti menyalahkan keadaan.

*** 

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar