Psikologi Islami dan Psikoterapi Islam
Oleh: Tizar Rahmawan, S. Psi
I. PENGANTAR
Islam adalah agama yang sangat agung, yang memberikan pencerahan kepada manusia dalam berbagai aspek terkait dengan alam semesta, manusia dan kehidupan, tentang Dzat yang ada sebelum kehidupan dunia dan alam yang ada sesudahnya serta hubungan ketiga unsur tadi dengan Dzat yang menciptakannya. Dengan kata lain Islam adalah sebuah ideologi (tidak sekedar agama ritual) yang mampu menjawab setiap problematika umat manusia.
Semenjak ribuan tahun yang lalu konsep tentang manusia banyak dirumuskan oleh para ahli dari mulai filsuf, ilmuwan dan agamawan. Manusia moncoba untuk mengetahui hakikat atau esensi dirinya. Seiring berjalannya waktu sejarah mencatat bahwa teori-teori mengenai hakikat atau esensi manusia terus berkembang. Hal inilah yang kemudian memicu lahirnya berbagai disiplin ilmu dengan manusia sebagai subjek dan atau objek kajiannya, dan psikologi adalah salah-satu disiplin ilmu yang termasuk di dalamnya.
Secara umum disiplin ilmu psikologi yang selama ini berkembang memiliki tiga fungsi utama, yaitu; menerangkan (explanation), memprediksi (prediction)dan mengontrol (controlling) perilaku manusia. Di dalam aplikasinya, salah-satunya terdapat apa yang dinamakan dengan psikoterapi. Istilah psikoterapi (dan konseling) sendiri memiliki pengertian sebagai suatu cara yang dilakukan oleh para profesional (psikolog, psikiater, konselor, dokter, guru, dsb.) dengan tujuan untuk menolong klien yang mengalami problematika psikologis (Prawitasari, 1993, dalam Subandi, 2000).
Pada kenyataannya teknik psikoterapi sendiri cukup beragam dan hal ini tidak terlepas dari konsep teori psikologi mana yang menjadi landasannya. Di dalam makalah ini penulis mencoba untuk menelaah lebih dalam mengenai psikoterapi yang berwawasan Islam, namun tentu saja sebelum menginjak kepada pembahasan mengenai psikoterapi yang berwawasan Islam kita harus terlebih dahulu membahas mengenai konsep Psikologi Islami sebagai pijakan dan konsep dasar yang menjadi landasan awal dari psikoterapi berwawasan Islam.
II. PSIKOLOGI ISLAMI
Ilmu pengetahuan dan agama secara klasik sering diamati sebagai dua pandangan yang terpisah secara eksklusif. Tidak ada bagian ilmu yang dapat dijelaskan agama dan sebaliknya, tidak ada perintah agama melalui wahyu yang dapat dijelaskan secara obyektif oleh logika ilmu pengetahuan. Pertemuan antara ilmu dan agama merupakan suatu khayalan yang mustahil dapat dihadirkan secara nyata, sehingga sia-sia bila ada yang berupaya untuk mempertemukannya baik dalam taraf substansi kajian, cara mencari kebenarannya, maupun fungsi terapannya. Andaikata dua hal eksklusif ini dipaksakan untuk dipertemukan, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi bencana baik dari sisi konsep ilmu pengetahuan maupun di sisi keyakinan agama. Sains berazas pada pandangan positivisme yang menitikberatkan pada tesis:
Sains berdasarkan pada fakta sensorik, materialistik dan fisik yang sudah memiliki kepastian arti.Teori ilmu pengetahuan dijabarkan dari fakta dan data melalui metode induktif, deduktif, atau hipotetik-deduktif. Kriteria diterima atau ditolak hanya berdasarkan pada kesahihan pengujian empiriknya.Perkembangan konsep dan teori terjadi berdasarkan hasil akumulasi fakta secara bertahap (Mahony, 1974, dalam Elmira N. Sumintardja, 2000).
Pandangan ini diakui pada kurun waktu sebelum tahun 1950. Bahkan pandangan ini memberi batasan yang jelas antara ilmu pengetahuan dan agama yang menunjukan bahwa ilmu harus obyektif, bersifat sensorik, memiliki nilai yang dapat dikuantifikasi, dapat diukur dan dapat direplikasikan. Sedangkan agama memfokuskan pada moral, bersifat subyektif, pribadi, kualitatif, tidak dapat diukur dan berlaku haya pada tingkat personal, sehingga tidak perlu dibuktikan kepada orang banyak (Barbour, 1974 dan Jones, 1996, dalam Elmira N. Sumintardja, 2000).
Setelah tahun 1950, keyakinan tentang eksklusivitas agama dan ilmu pengetahuan mulai meluntur. Paradigma baru melihat bahwa ilmu pengetahuan dan agama memiliki hubungan yang erat untuk sampai pada nilai guna kehidupan mahluk. Justru muncul pemikiran yang disebut sebagai pasca positivistik bahwa apa yang dijelaskan ilmu pengetahuan dan agama adalah saling tumpang tindih dan lebih banyak kesamaannya ketimbang perbedaannya yang tajam. Ada empat asumsi yang yang dikemukakan oleh mereka dari aliran ini (Fouad Alh Aboub Hatab, 1997, dalam Elmira N. Sumintardja, 2000):
Data dan fakta ilmu pengetahuan adalah theory laden, artinya diinterpretasikan menjadi suatu konsep dan tidak selalu harus memiliki makna yang pasti. Fakta terpatri dalam jaring konseptual yang luas, yang disebut sebagai paradigma. Jadi, fakta bukan hanya sekedar fungsi empiris yang sederhana dipilah dengan pendekatan realistik yang naif.Teori ilmu pengetahuan tidak diperoleh hanya dari fakta semata. Pandangan ini bertentangan dengan tesis positivistik bahwa teori harus dibangun dari metode induktif, deduktif dan hipotetik-deduktif.Ilmu pengetahuan adalah aktivitas budaya dan kemanusiaan yang tidak dapat direduksi menjadi suatu perangkat prosedur operasional saja.Aktivitas peningkatan konsep dan teori tidak melalui akumulasi fakta yang berharap dengan cara lambat, tetapi terjadi berkat pengembangan teori-teori.
Asumsi di atas menyadarkan kita bahwa ilmu pengetahuan bukanlah suatu lingkup kegiatan yang steril, obyektif, terkendali, tetapi merupakan suatu aktivitas total dari pikiran, hati nurani dan dorongan energi manusia untuk menciptakan karya ilmiahnya. Tidak semua karya datang dari pembuktian secara empirik. Misalnya, teori Darwin yang sampai kini tidak pernah terbuktikan, namun memberi pengaruh dan kontribusi sangat besar dalam paradigma ilmu pengetahuan.
Di sisi lain agama peka terhadap pengalaman hidup manusia karena agama menawarkan tujuan tertinggi dan terluas dari eksistensi manusia. Agama merumuskan konsep teologis di mana analisis konseptual tentang tingkah laku manusia ditata dan diberi pemahaman, diberi jalan keluar dan arah perbaikan bila mengalami masalah dan kesulitan. Bukankah ini juga merupakan tujuan ilmu pengetahuan, yaitu dibangun untuk kepentingan kesejahteraan manusia, melalui upaya mencari jawaban tentang fenomena dan menjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi, sehingga bisa memberi manfaat bagi kehidupan mahluk. Bila tujuan ini sama, maka ilmu pengetahuan dan agama merupakan sistem yang saling berhubungan dan terintegrasi.
Dari sudut pandang Islam, menurut Al-Faruqi, pandangan integratif ini dapat diartikan sebagai upaya untuk mengislamisasi ilmu yang beranjak dari tauhid. Perpecahan antara “sistem ilmu modern yang sekuler” dengan “sistem Islam” dapat dipertautkan dengan memulainya dari dasar keimanan seseorang. Bila pengetahuan modern menyebabkan adanya pertentangan antara wahyu dan akal dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi, menciptakan dualisme kultural dan religius, maka dengan paradigma yang baru pertentangan ini ditiadakan. Penjelasan tentang ilmu pengetahuan dapat dicari dalam agama dan sebaliknya, wahyu ilahi dapat dicari dalam dunia ilmu pengetahuan.
Psikologi Islami: Suatu Paradigma yang Khas
Ilmu berkembang melalui suatu paradigma cara berpikir tentang substansi dan bagaimana caranya substansi tersebut dijelaskan oleh pengamat ilmu tersebut. Melalui paradigma itulah terjadi sebuah revolusi pemikiran yang kemudian menghasilkan konsep. Para ahli psikologi yang memiliki latar agama Islam mengamati bahwa konsep barat banyak yang kurang mengena untuk menjelaskan perilaku manusia, terutama bila dilandaskan pada keyakinan tentang konsep manusia menurut ajaran agama. Hal ini menjadi sebuah bahan pemikiran, karena selama ini tinjauan psikologi menurut konsep barat dapat saja benar dan logis, namun belum tentu tepat bila ditinjau lebih jauh apakah sudah mengakomodasikan kepentingan pemahaman tingkah laku melalui konsep Islam.
Pemahaman-pemahaman tingkah laku dengan rujukan Islam merupakan sebuah paradigma yang khas, bila tidak dikatakan baru. Terdapat sebuah definisi umum yang menggambarkan kekhasan psikologi Islami, yaitu ilmu yang berbicara tentang manusia, terutama masalah kepribadian manusia, yang berisi filsafat, teori, metodologi dan pendekatan problem dengan didasari sumber-sumber formal Islam (ayat qouliyah), akal, indra dan intuisi (ayat kauniyah). (Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori, 2004). Sifat khasnya tampak pada sumber yang menjadi dasar dari konsep ini yaitu firman tuhan. Konsep psikologi Islami sendiri lahir dari dua pendekatan yang satu sama lain saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan setidaknya untuk sementara ini:
1. Psikologi Islam adalah konsep psikologi modern yang telah mengalami filterisasi dan di dalamnya terdapat wawasan Islam. Jadi Psikologi Islami diartikan sebagai perspektif Islam terhadap psikologi modern dengan membuang konsep yang tidak sesuai dan bertentangan dengan konsep Islam.
2. Ilmu tentang manusia yang kerangka konsepnya dibangun atas dasar sumber-sumber formal Islam, yaitu al-Quran dan Sunnah Nabi (Hadis), dengan memperhatikan pula syarat-syarat ilmiah seperti lazimnya dalam bahasan metodologik suatu konsep teori.
Ruang Lingkup Kajian Psikologi Islami
Menurut Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori (2004), kajian psikologi Islami diantaranya meliputi jiwa (nafs) dengan memperhatikan badan atau tubuh, dengan kata lain antara jiwa dan badan muncul suatu kesinambungan yang mencerminkan adanya totalitas dan unitas. Keadaan tubuh manusia bisa jadi merupakan cerminan jiwanya. Ekspresi badan hanyalah salah satu fenomena kejiwaan. Dalam merumuskan siapa manusia itu, psikologi Islami melihat manusia tidak semata-mata dari perilaku yang diperlihatkan badannya. Bukan pula berdasarkan spekulasi tentang apa dan siapa manusia. Psikologi Islami bermaksud menjelaskan manusia dengan merumuskan apa kata tuhan tentang manusia. Psikologi Islami menyadari adanya kompleksitas dalam diri manusia di mana hanya sang penciptalah yang mampu memahami dan mengurai kompleksitas itu.
Oleh karenanya, psikologi Islami sangat memperhatikan apa yang tuhan katakan tentang manusia. Artinya, dalam menerangkan siapa manusia itu, kita tidak semata-mata mendasarkan diri kita pada perilaku nyata manusia, akan tetapi bisa kita fahami dari dalil-dalil tentang perilaku manusia yang ditarik dari ungkapan tuhan. Kajian tentang diri manusia banyak disebut-sebut Allah dalam Al-Quran:
“Kami akan memperlihatkan kepada merekatanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayahbumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelasbagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmumenjadi saksi atas segala sesuatu?” (Qs. Fushshilat, 41:53).
Ayat ini hendak mengungkapkan bahwa di alam semesta maupun dalam diri manusia terdapat sesuatu yang menunjukan adanya tanda-tanda kekuasaan Allah. Yang dimaksud dengan sesuatu itu adalah rahasia-rahasia tentang keadaan alam dan keadaan manusia. Apabila rahasia-rahasia tersebut disingkap manusia, maka jadilah manusia sebagai mahluk yang berpengetahuan, mahluk yang berilmu.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam diri manusia ada kompleksitas yang bisa dijadikan lahan kajian. Dalam berbagai ayat banyak disebutkan istilah-istilah yang berbicara tentang keadaan diri manusia, seperti nafs, ruh, aql, qalb, fitrah, fujura, taqwa, fuad dan sebagainya. Istilah nafs, termasuk kata yang paling sering disebut-sebut oleh Al-Quran, yaitu sebanyak lebih dari 300 kali.
Menurut Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori (2004) ada beberapa hal yang harus menjadi catatan, yang pertama bahwa kajian mengenai manusia bukanlah kajian yang berdiri sendiri, tetapi digunakan untuk menuju Allah (Abdul Hamid al-Hashimi, 1991), yang kedua adalah untuk mengenal siapa manusia kita tidak semata-mata menggunakan teks Al-Quran (ayat kauniyah), tapi juga dengan menggunakan, memikirkan dan merefleksikan kejadian-kejadian di alam semesta (ayat kauliyah) dengan akal pikiran, indra dan intuisi. Catatan terakhir kita harus membedakan kebenaran Al-Quran dan kebenaran penafsiran Al-Quran. Secara mutlak Al-Quran adalah benar, tetapi penafsiran atasnya mungkin saja bias. Oleh karena itu rumusan tentang apa dan siapa manusia yang didasarkan pada Al-Quran juga mungkin mengandung bias, kerena bias dalam penafsirannya. Kalau perbedaan penafsiran itu terjadi, maka tugas kita adalah mengembalikannya pada Al-Quran, Al-Quran tidak pernah salah dalam memandang siapa manusia, yang salah adalah penafsiran atasnya.
Konsep Psikologi Islami tentang Manusia
Penjelasan mengenai konsep manusia menurut psikologi Islami banyak dipengaruhi oleh konsep manusia menurut pandangan ilmu tasawuf, yang secara umum dapat kita temukan dengan melihat beberapa aspek:
1. Aspek Jismiyah (Dimensi jasad):
Jasad adalah salah satu aspek dalam diri manusia yang bersifat material. Bentuk dan keberadaannya dapat diindera oleh manusia, seperti tubuh dan anggota-anggotanya seperti tangan, kaki, mata, telinga dan lain-lain. Di dalam Al-Quran banyak disebutkan bahwa manusia telah dikaruniai raga dengan sebaik-baiknya bentuk.
“Dia menciptakan langit dan bumi dengan haq. Dia membentuk rupamu dan dibaguskanNya rupamu itu dan hanya kepada Allah-lah kembali(mu)”.(QS At-Taghaabun, 64:3)
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (QS At-Tiin, 95:4)
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. An-Nahl, 16:78).
Dengan raga atau fisik yang bagus diharapkan manusia bersyukur kepada Allah. Tetapi walaupun demikian banyak manusia yang kemudian menjadi ingkar, kafir dan tidak bersyukur kepada Allah.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur[1535] yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan Dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir”. (QS. Al-Insaan, 76:2-3). [1535] Maksudnya: bercampur antara benih lelaki dengan perempuan.
Dari aspek jasad inilah kemudian timbulnya kecenderungan dan keinginan yang disebut syahwat, yaitu ketertarikan terhadap hal-hal keduniawian, seperti yang disebutkan di dalam Al-Quran:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali-Imran, 3:14).
Selain itu jasad memiliki sifat buruk. Keburukan jasad disebabkan karena jasad merupakan penjara bagi ruh, mengganggu kesibukan ruh untuk beribadah kepada Allah SWT., dan jasad tidak mampu mencapai makrifatullah.
2. Aspek Nafsiyah
Dalam kebanyakan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, nafs diartikan dengan jiwa atau diri. Namun dalam konteks ini nafs yang dimaksud adalah substansi psikofisik manusia, dimana komponen yang bersifat jasadi (jismiyah) bergabung dengan komponen ruh sehingga menciptakan potensi-potensi yang potensial, tetapi dapat aktual jika manusia mengupayakannya. Setiap komponen yang ada memiliki daya-daya laten yang dapat menggerakkan tingkah laku manusia. Aktualisasi nafs membentuk kepribadian, yang perkembangannya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Aspek nafsiyah memiliki potensi bawaan yang ada pada psikofisik manusia yang dibawa semenjak lahir dan yang akan menjadi pendorong serta penentu bagi tingkah laku manusia, baik berupa perbuatan, sikap, ucapan dan sebagainya.
Di dalam aspek nafsiyah ini terdapat tiga dimensi yang memiliki peranan yang berbeda satu sama lain, yaitu:
a. Dimensi Kalbu (Al-Qolb)
Secara tegas Al-Ghazali (dalam Abul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001) melihat kalbu dari dua aspek, yaitu kalbu yang bersifat jasmani dan kalbu yang bersifat ruhani. Kalbu jasmani adalah salah satu organ yang terdapat di dalam tubuh manusia berupa segumpal daging yang berbentuk seperti buah sanubar (sanubari) atau seperti jantung pisang yang terletak di dalam dada sebelah kiri. Kalbu ini lazimnya disebut jantung. Sedangakan kalbu ruhani adalah sesuatu yang bersifat halus (lathif), rabbani dan ruhani yang berhubungan dengan kalbu jasmani. Bagian ini merupakan esensi manusia.
Al-Ghazali berpendapat bahwa kalbu memiliki insting yang disebut dengan al-nur al-ilahy (cahaya ketuhanan) dan al-bashirah al-bathinah (mata batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan. Al-Zamakhsyariy (dalam Abul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001) menegaskan bahwa kalbu itu diciptakan oleh Allah SWT., sesuai dengan fitrah asalnya dan berkecenderungan menerima kebenaran dari-Nya. Dari sisi ini, kalbu ruhani merupakan bagian esensi dari nafs manusia. Kalbu ini berfungsi sebagai pemandu, pengontrol dan pengendali struktur nafs yang lain. Apabila kalbu ini berfungsi secara normal maka kehidupan manusia menjadi baik dan sesuai dengan fitrah aslinya. Manusia tidak sekedar mengenal lingkungan fisik dan soialnya, melainkan juga mampu mengenal lingkunngan spiritual, ketuhanan dan keagamaan. Oleh karena itulah maka kalbu disebut juga fithrah ilahiyah atau fithrah rabbaniyah-nuraniyah.
Kalbu mampu memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah) melalui daya cita rasa (al-zawqiyah). Kalbu akan memperoleh puncak pengetahuan apabila manusia telah mensucikan dirinya dan menghasilkan ilham (bisikan suci dari Allah SWT.) dan kasyf (terbukanya dinding yang menghalangi kalbu).
Ketika mengaktual, potensi kalbu tidak selamanya menjadi tingkah laku yang baik. Baik buruknya sangat tergantung pada pilihan manusia itu sendiri. Hal tersebut seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadis:
“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak pula. Ingatlah bahwa ia adalah kalbu(hati)” (HR. Al-Bukhari dari Nu’man ibn Basyir).
Kalbu secara psikologis memiliki daya-daya emosi (al-infi’aliy), yang menimbulkan daya rasa (al-syu’ur). Sementara Al-Thabathabai (dalam Abul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001) menyebut dalam tafsirnya bahwa fungsi kalbu selain berdaya emosi juga berdaya kognisi. Hal itu menunjukan bahwa kalbu memiliki dua daya, yaitu daya kognisi dan daya emosi. Daya emosi kalbu lebih banyak diungkap daripada daya kognisinya, sehingga para ahli sering menganggap kalbu sebagai aspek nafsiyah yang berdaya emosi. Apabila terpaksa menyebut kalbu sebagai daya kognisi, itupun hanya dibatasi pada kognisi yang diperoleh melalui pendekatan cita rasa (zawq) bukan pendekatan nalar.
Daya kalbu tidak terbatas pada pencapaian kesadaran, tetapi mampu mencapai tingkat supra-kesadaran. Kalbu mampu menghantarkan manusia pada tingkat spiritualitas, keagamaan dan ketuhanan. Semua tingkatan itu merupakan tingkatan supra-kesadaran manusia, sebab kedudukannya lebih tinggi daripada rasio manusia. Manusia dengan kalbunya mampu membenarkan wahyu. Kebenaran wahyu ada yang bersifat rasional dan ada pula yang bersifat supra- rasional. Sifat rasional dapat ditangkap oleh daya akal manusia, sedang sifat supra-rasional hanya dapat ditangkap oleh kalbunya. Dengan begitu, fungsi kalbu bukan sekedar merasakan sesuatu, melainkan juga berfungsi untuk menangkap pengetahuan yang bersifat supra-rasional.
b. Dimensi Akal ( Al-‘Aql)
Secara etimologi, akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-hajr (menahan), al-nahy (melarang), dan man’u (mencegah). Berdasarkan makna bahasa ini maka yang disebut orang yang berakal adalah orang yang mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya. Jika hawa nafsunya terikat maka jiwa rasionalitasnya mampu bereksistensi.
Dalam dimensi jasad akal merupakan hasil dari kerja otak, dimana akal memiliki cahaya nurani yang dipersiapkan untuk mampu memperoleh pengetahuan serta kognisi. Akal merupakan daya berpikir manusia untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan eksistensi manusia. Akal mampu memperoleh pengetahuan melalui daya argumentatif dan juga menunjukan substansi berpikir, aku-nya pribadi, mampu berpendapat, mampu memahami, menggambarkan, menghafal, menemukan dan mengucapkan sesuatu. Karena itulah maka sifat akal adalah kemanusiaan (insaniyah), sehingga ia disebut juga fithrah insaniyah. Secara psikologis akal memiliki fungsi kognisi (daya cipta).
Menurut Ibnu Sina (dalam Abul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001), manusia memiliki tiga jiwa, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa binatang dan jiwa berpikir. Jiwa berpikir (akal) pada puncaknya mampu mencapai pemahaman abstrak dan mampu menerima limpahan pengetahuan dari Allah SWT.
Di dalam Al-Quran akal diungkap hanya dalam bentuk kata kerja dan tidak satu pun diungkap dalam bentuk kata benda. Hal ini menunjukan bahwa akal bukanlah suatu substansi yang bereksistensi, melainkan aktivitas substansi tertentu:
“Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami (berakal dengannya) atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”.(QS. Al-Hajj, 15:46).
Adapun yang dimaksud kalbu di dalam ayat tersebut adalah akal itu sendiri. Pendapat ini senada dengan pendapat Plato. Bagi Plato, jiwa rasional itu bertempat di kepala (otak) manusia, sehingga yang berpikir adalah akal dan bukan kalbu.
Akal bukanlah kalbu. Ia merupakan dimensi tersendiri dalam aspek nafsiyah yang berkedudukan di otak yang berfungsi untuk berpikir. Akal memiliki kesamaan dengan kalbu dalam memperoleh daya kognisi, tetapi cara dan hasilnya berbeda. Akal mampu mencapai pengetahuan rasional tetapi tidak mampu mencapai pengetahuan yang supra-rasional. Akal mampu mengungkap hal-hal yang abstrak tetapi belum mampu merasakan hakikatnya. Akal mampu menghantarkan eksistensi manusia pada tingkat kesadaran tetapi tidak mampu mengahantarkan pada tingkat supra-kesadaran.
c. Dimensi Nafsu (An-Nafsu)
Nafsu dalam terminologi psikologi dekat dengan sebutan konasi (daya karsa). Konasi (kemauan) adalah bereaksi, berbuat, berusaha, berkemauan, dan berkehendak. Aspek konasi kepribadian ditandai dengan tingkah laku yang bertujuan dan impuls untuk berbuat. Nafsu menunjukan struktur di bawah sadar dari kepribadian manusia. Apabila manusia mengumbar dominasi nafsunya maka kepribadiannya tidak akan mampu bereksistensi, baik di dunia apalagi di akhirat. Manusia yang memiliki sifat ini pada hakikatnya memiliki kedudukan sama dengan binatang bahkan lebih hina:
Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raf: 179)
Nafsu memiliki dua kekuatan yaitu, al-ghadhabiyah dan al-syahwaniyah. Al-ghadhabiyah adalah suatu daya yang berpotensi untuk menghindari diri dari segala yang membahayakan. Al-ghadhabiyah dalam terminologi psikoanalisa disebut dengan difence mechanisme, yaitu tingkah laku yang berusaha membela atau melindungi ego terhadap kesalahan, kecemasan dan rasa malu, perbuatan untuk melindungi diri sendiri dan memanfaatkan dan merasionalisasikan perbuatannya sendiri. Sedangkan al-syahwaniyah atau syahwat adalah suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala hal yang menyenangkan. Syahwat dalam terminologi psikologi disebut dengan appetite, yaitu suatu hasrat (keinginan, birahi, hawa nafsu), motif atau impuls berdasarkan perubahan keadaan fisiologi.
Prinsip kerja nafsu mengikuti prinsip kenikmatan (pleasure principle) dan berusaha mengumbar impuls-impuls primitifnya. Apabila impuls-impuls ini tidak terpenuhi maka terjadi ketegangan diri. Prinsip kerja nafsu ini memiliki kesamaan dengan prinsip kerja jiwa binatang, baik binatang buas maupun binatang jinak. Binatang buas memiliki impuls agresif (menyerang), sedangkan binatang jinak memiliki impuls seksual. Oleh karena prinsip inilah maka nafsu disebut juga fithrah hayawaniyah.
3. Aspek Ruhiyah (Ruh)
Ruh merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannnya. Ruh adalah pembeda antara esensi manusia dengan esensi mahluk lain. Ruh berbeda dengan spiritdalam terminologi psikologi, sebab term ruh lebih kepada subtansi, berbeda dengan spirit yang lebih kepada akibat atau efek dari ruh.
Menurut Al-Ghazali (dalam Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001) ruh merupakan sesuatu yang halus (lathifah) yang bersifat ruhani. Ia dapat berpikir, mengingat, mengetahui dan sebagainya. Ruh juga merupakan penggerak bagi keberadaan jasad manusia (nyawa) yang bersifat gaib.
Pembahasan mengenai ruh dibagi menjadi dua, pertama, ruh yang berhubungan dengan zatnya sendiri, dan kedua ruh yang berhubungan dengan badan jasmani. Ruh yang pertama disebut dengan al-munazzalah, sedang yang kedua disebut dengan al-gharizah, atau disebut dengan nafsaniah. Ruh al-munazzalah berkaitan dengan esensi asli ruh yang diturunkan atau diberikan secara langsung dari Allah SWT. kepada manusia. Ruh ini esensinya tidak berubah, sebab jika berubah berarti berubah pula eksistensi manusia.
Ruh ini diciptakan di alam ruh (‘alam arwah) atau di alam perjanjian. Karena itu ruh al-munazzalah ada sebelum tubuh manusia itu ada, sehingga sifatnya sangat gaib yang adanya hanya diketahui melalui informasi wahyu. Ruh al-munazzalah melekat pada diri manusia. Ruh ini dapat dikatakan sebagai fitrah asal yang menjadi esensi (hakikat) struktur manusia. Fungsinya berguna untuk memberikan motivasi dan menjadikan dinamisasi tingkah laku. Ruh ini membimbing kehidupan spiritual nafsani manusia untuk menuju pancaran nur ilahi yang suci yang menerangi ruangan nafsani manusia, meluruskan akal budi dan mengendalikan impuls-impuls rendah.
Wujud ruh al-munazzalah adalah al-amanah. Fazlur Rahman (dalam Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001) menyatakan bahwa amanah merupakan inti kodrat manusia yang diberikan sejak awal penciptaan, tanpa amanah manusia tidak memiliki keunikan dengan mahluk-mahluk lain. Amanah adalah titipan atau kepercayaan Allah yang dibebankan kepada manusia untuk menjadi hamba dan khalifah di muka bumi. Tugas hamba adalah menyembah dan berbakti kepada penciptanya (QS. Al-Zariyat, 51:56), sebab di alam arwah manusia sudah berjanji bahwa Allah adalah tuhannya (QS. Al-A’raf, 7: 172). Sedang tugas khalifah adalah menjadi wakil Allah di muka bumi (QS. Al-Baqarah, 2: 30), pengganti dan penerus para pendahulunya (QS. Al-An’am, 6: 165), pewaris-pewaris di bumi (QS. An-Naml, 27: 62). Ruh al-munazzalah sendiri perlu pengingat, petunjuk maupun pembimbing yaitu Al-Quran dan sunnah. Apabila aspek inhern ruhani (al-gharizah) lupa akan dirinya, maka ruh ini memberi peringatan. Al-Gharizah sendiri merupakan bagian dari ruh manusia yang berhubungan dengan jasad.
Dinamika Kepribadian menurut Psikologi Islami
Kepribadian menurut Psikologi Islami adalah integrasi sistem kalbu, akal dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001). Aspek nafsiyah manusia memiliki tiga daya, yaitu: (1) kalbu (fithrah ilahiyah) sebagai aspek supra-kesadaran manusia yang memiliki daya afeksi (emosi-rasa); (2) akal (fithrah insaniyah) sebagai aspek kesadaran manusia yang memiliki daya kognisi (cipta); dan (3) nafsu (fithrah hayawaniyah) sebagai aspek pra atau bawah kesadaran manusia yang memiliki daya konasi (karsa). Ketiga komponen ini berintegrasi untuk mewujudkan suatu tingkah laku. Kalbu memiliki kecenderungan kepada pembawaan ruh, nafs kepada jasad, sedangkan akal antara ruh dan jasad. Dari sudut tingkatannya, kepribadian itu merupakan integarsi dari aspek-aspek supra-kesadaran (fitrah ketuhanan), kesadaran (fitrah kemanusiaan) dan pra atau bawah kesadaran (fitrah kebinatangan). Sedangkan dari sudut fungsinya, kepribadian merupakan integrasi dari daya afeksi (emosi), kognisi dan konasi yang terwujud dalam tingkah laku luar (berjalan, berbicara, dsb.) maupun tingkah laku dalam (pikiran, perasaan, dsb.)
Kepribadian sesunggunya merupakan produk dari interaksi di antara ketiga komponen tersebut, hanya saja ada salah-satu di antaranya yang lebih mendominasi dari komponen yang lain. Dalam interaksi itu kalbu memiliki posisi dominan dalam mengendalikan suatu kepribadian. Prinsip kerjanya cenderung kepada fitrah asal manusia, yaitu rindu akan kehadiran tuhan dan kesucian jiwa. Aktualitas kalbu sangat ditentukan oleh sistem kendalinya. Sistem kendali yang dimaksud adalah dhamir yang dibimbing oleh fithrah al-munazzalah (Al-Quran dan Sunnah). Apabila sistem kendali ini berfungsi sebagaimana mestinya maka kepribadian manusia sesuai dengan amanat yang telah diberikan oleh Allah di alam perjanjian. Namun apabila ia tidak berfungsi maka kepribadian manusia akan dikendalikan oleh komponen lain yang lebih rendah kedudukannya.
Sedangkan akal prinsip kerjanya adalah mengejar hal-hal yang realistis dan rasionalistik. Oleh sebab itu maka tugas utama akal adalah mengikat dan menahan hawa nafsu. Apabila tugas utama ini terlaksana maka akal mampu untuk mengaktualisasikan sifat bawaan tertingginya, namun jika tidak maka akal dimanfaatkan oleh nafsu.
Sementara nafsu prinsip kerjanya hanya mengejar kenikmatan duniawi dan ingin mengumbar nafsu-nafsu impulsifnya. Apabila sistem kendali kalbu dan akal melemah maka nafsu mampu mengaktualkan sifat bawaannya, tetapi apabila sistem kendali kalbu dan akal tetap berfungsi maka daya nafsu melemah. Nafsu sendiri memiliki daya tarik yang sangat kuat dibanding dengan kedua sistem fitrah nafsani yang lainnya. Kekuatan tersebut disebabkan oleh bantuan dan bisikan setan serta tipuan-tipuan impulsif lainnya. Sifat nafsu adalah mengarah pada amarahyang buruk. Namun apabila ia diberi rahmat oleh Allah maka ia menjadi daya yang positif, yaitu kemauan (iradah) dan kemampuan (qudrah) yang tinggi derajatnya.
Interaksi ketiga dimensi dalam aspek nafsiyah tadi teraktualisasi dalam tiga macam kepribadian, yaitu:
Kepribadian Ammarah (nafs al-ammarah)
Kepribadian ammarah adalah kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure principle). Ia mendominasi peran kalbu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia merupakan tempat dan sumber kejelekan dan tingkah laku yang tercela. Firman Allah SWT.:
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (QS. Yusuf, 12:53).
Kepribadian ammarah adalah kepribadian yang dipengaruhi oleh dorongan-dorongan bawah sadar manusia. Barangsiapa yang berkepribadian ini maka sesungguhnya ia tidak lagi memiliki identitas manusia, sebab sifat-sifat humanitasnya telah hilang. Manusia yang berkepribadian ammarah tidak saja dapat merusak dirinya sendiri, tetapi juga merusak diri orang lain. Keberadaannya ditentukan oleh dua daya, yaitu (1) syahwat yang selalu menginginkan birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur tangan urusan orang lain, dan sebagainya; (2) daya ghadah yang selalu menginginkan tamak, serakah, mencekal, berkelahi, ingin menguasai orang lain, keras kepala, sombong, angkuh dan sebagainya. Jadi orientasi kepribadian ammarah adalah mengikuti sifat binatang.
Kepribadian ammarah dapat beranjak ke kepribadian yang baik apabila telah diberi rahmat oleh Allah SWT. Hal tersebut diperlukan latihan atau riyadhah khusus untuk menekan daya nafsu dari hawa, seperti dengan berpuasa, shalat, berdoa dan sebagainya.
Kepribadian Lawwamah (nafs al-lawwamah)
Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang telah memperoleh cahaya kalbu, lalu ia bangkit untuk memperbaiki kebimbangan antara dua hal. Dalam upayanya itu kadang-kadang tumbuh perbuatan yang buruk yang disebutkan oleh watak gelapnya, namun kemudian ia diingatkan oleh nur ilahi, sehingga ia mencela perbuatannya dan selanjutnya ia bertaubat dan beristighfar. Hal itu dapat difahami bahwa kepribadian lawwamah berada dalam kebimbangan antara kepribadian ammarah dan kepribadian muthmainnah. Firman Allah SWT.:
Dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri). (QS. Al-Qiyamah, 75:2)
Kepribadian lawwamah merupakan kepribadian yang didominasi oleh akal. Sebagai komponen yang memiliki sifat insaniah, akal mengikuti prinsip kerja rasionalistik dan realistik yang membawa manusia pada tingkat kesadaran. Apabila sistem kendalinya berfungsi maka ia mampu mencapai puncaknya seperti berpaham rasionalisme. Rasionalisme banyak dikembangkan oleh kaum humanis yang mengorientasikan pola pikirnya pada kekuatan “serba” manusia, sehingga sifatnya antroposentris.
Akal apabila telah diberi percikan nur kalbu maka fungsinya menjadi baik. Ia dapat dijadikan sebagai salah satu media untuk menuju Tuhan. Al-Ghazali sendiri meskipun sangat mengutamakan pendekatan cita-rasa (zawq), namun ia masih menggunakan kemampuan akal. Sedangkan menurut Ibnu Sina, akal mampu mencapai pemahaman yang abstrak dan akal juga mampu menerima limpahan pengetahuan dari Tuhan.
Oleh karena kedudukan yang tidak stabil ini maka Ibnu Qayyim Al-Jauziyah membagi kepribadian lawwamah manjadi dua bagian, yaitu: (1) Kepribadian lawwamah malumah, yaitu kepribadian lawwamah yang bodoh dan zalim; (2) Kepribadian lawwamah ghayr malumah, yaitu kepribadian yang mencela atas perbuatannya yang buruk dan berusaha untuk memperbaikinya.
Kepribadian Muthmainnah (nafs al-muthmainnah)
Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu berorientasi ke komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang. Begitu tenangnya kepribadian ini sehingga ia dipanggil oleh Allah SWT. Firman Allah SWT.:
Hai jiwa yang tenang.Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (QS. Al-Fajr, 89:27-28).
Kepribadian muthmainnah merupakan kepribadian atas sadar atau supra- kesadaran manusia, dengan orientasi kepribadian ini adalah teosentris. Dikatakan demikian sebab kepribadian ini merasa tenang dalam menerima keyakinan fithrah. Keyakinan fithrah adalah keyakinan yang dihujamkan pada ruh manusia di alam arwah dan kemudian dilegitimasi oleh wahyu ilahi. Penerimaan ini tidak bimbang apalagi ragu-ragu seperti yang dialami oleh kepribadian lawwamah, tetapi penuh keyakinan. Oleh sebab itu ia terbiasa menggunakan metode zawq (cita rasa) dan mata batin dalam menerima sesuatu sehingga ia merasa yakin dan tenang.
Al-Ghazali menyatakan bahwa daya kalbu yang mendominasi kepribadian muthmainnah mampu mencapai pengetahuan ma’rifat melalui daya cita rasa (zawq) dan kasyf terbukanya tabir misteri yang menghalangi penglihatan batin manusia. Sedangkan Ibnu Khaldun menyatkan dalam “muqaddimat” bahwa ruh kalbu itu disinggahi oleh ruh akal. Ruh akal secara substansial mampu mengetahui apa saja di alam amar, sebab ia berpotensi demikian. Ia kadang-kadang tidak mampu mencapai pengetahuan itu disebabkan adanya penghalang (hijab) di badan dan indera. Apabila penghalang itu hilang maka ia mampu menembus pengetahuan tersebut.
Dengan kekuatan dan kesucian daya kalbu maka manusia mampu memperoleh pengetahuan wahyu dan ilham dari Tuhan. Wahyu diberikan pada para nabi, sedang ilham diberikan pada manusia suci biasa. Kebenaran pengetahuan ini bersifat supra-rasional, sehingga bisa jadi ia tidak mampu diterima oleh akal. Pengetahuan yang ditangkap oleh akal seharusnya dapat pula ditangkap oleh kalbu, sebab kalbu sebagian dayanya ada yang digunakan untuk berakal. Namun sebaliknya, pengetahuan yang diterima oleh kalbu belum tentu dapat diterima oleh akal, sebab kemampuan akal (di otak) berada di bawahnya.
III. PSIKOTERAPI BERWAWASAN ISLAM
Menurut Prawitasari, 1993 (dalam Subandi, 2000) istilah psikoterapi (dan konseling) memiliki pengertian sebagai suatu cara yang dilakukan oleh para profesional (psikolog, psikiater, konselor, dokter, guru, dsb.) dengan tujuan untuk menolong klien yang mengalami problematika psikologis. Lebih lanjut Prawitasari menjelaskan tentang tujuan psikoterapi secara lebih spesifik meliputi beberapa aspek kehidupan manusia antara lain:
Memperkuat motivasi untuk melakukan hal-hal yang benar,Mengurangi tekanan emosi melalui pemberian kesempatan untuk mengekspresikan perasaan yang dalam,Membantu klien mengembangkan potensinya,Mengubah kebiasaan dan membentuk tingkah laku baru,Mengubah struktur kognitif,Meningkatkan pengetahuan dan kapasitas untuk mengambil keputusan dengan,Meningkatkan pengetahuan diri dan insight,Meningkatkan hubungan antar pribadi,Mengubah lingkungan sosial individu,Mengubah proses somatik supaya mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kesadaran tubuh melalui latihan-latihan fisik,Mengubah status kesadaran untuk mengembangkan kesadaran, kontrol dan kreativitas diri.
Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa persoalan yang ditangani oleh psikoterapis barat menyangkut masalah-masalah yang bersifat fisiologis-emosional-kognitif-behavioral-sosial. Meskipun jangkauannya bervariasi, seringkali konotasi menjadi sempit, yaitu hanya mengarah kepada suatu usaha dalam proses penyembuhan, menghilangkan persoalan dan gangguan. Walaupun sebenarnya ada beberapa psikoterapis yang memasukan isu pengembangan diri sebagai agenda dalam terapi. Tetapi secara umum orang akan selalu beranggapan bahwa jika ada seseorang sedang menjalani suatu psikoterapi, berarti sedang berusaha menyembuhkan diri.
Gambaran mengenai Psikoterapi Islam sendiri memiliki ruang lingkup dan jangkauan yang lebih luas. Selain menaruh perhatian pada proses penyembuhan, psikoterapi Islam sangat menekankan pada usaha peningkatan diri, seperti membersihkan kalbu, menguasai pengaruh dorongan primitif, meningkatkan derajat nafs, menumbuhkan akhlaqul karimah dan meningkatkan potensi untuk menjalankan amanah sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Mappiare, 1996 (dalam Subandi, 2000) menekankan bahwa psikoterapi Islam bertujuan untuk mengembalikan seorang pribadi pada fitrahnya yang suci atau kembali ke jalan yang lurus. Lebih jauh lagi Hamdani, 1996-a (dalam Subandi, 2000) menyebutkan bahwa psikoterapi juga perlu memberikan bimbingan kepada seseorang untuk menemukan hakekat dirinya, menemukan Tuhannya dan menemukan rahasia Tuhan.
Psikoterapi Islam tidak hanya memberikan terapi pada orang-orang yang “sakit” sesuai dengan kriteria mental-psikologis-sosial, tetapi juga perlu ikut menangani orang-orang yang “sakit” secara moral dan spiritual. Jadi ukuran yang dijadikan sebagai standar untuk menentukan kriteria suatu tingkah laku itu perlu diterapi atau tidak, yang pertama-tama adalah nilai moral-spiritual dalam Islam. Baru kemudian mengacu pada kriteria-kriteria psikologi yang ada.
Teori-teori psikologi pada umumnya terlalu berorientasi pada manusia atau antroposentris (Bastaman, 1995 dalam Subandi, 2000), sehingga ukuran kebenarannya juga dari kacamata manusiawi. Sedangkan dalam perspektif psikologi Islami dalam hal ini psikoterapi Islam kebenarannya harus dikembalikan kepada Al-Quran dan sunnah (Al-Hadis).
Bentuk Psikoterapi Berwawasan Islam
Muhammad Mahmud Mahmud (dalam Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001), seorang psikolog muslim ternama membagi psikoterapi Islam dalam dua kategori, pertama, bersifat duniawiberupa pendekatan dan teknik-teknik pengobatan psikis setelah memahami psikopatologi dalam kehidupan nyata. Psikoterapi duniawi merupakan hasil daya upaya manusia berupa teknik-teknik terapi atau pengobatan kejiwaan yang didasarkan atas kaidah-kaidah insaniyah. Kedua, bersifat ukhrawi, berupa bimbingan mengenai nilai-nilai moral, spiritual dan agama, dan kedua model psikoterapi ini satu sama lain saling terkait.
Menurut Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir (2001) psikoterapi dalam Islam yang dapat menyembuhkan semua aspek psikopatologi, baik yang bersifat duniawi, ukhrawi maupun penyakit manusia modern adalah sebagaimana ungkapan dari Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:
Obat hati itu ada lima macam:
membaca Al-Quran sambil mencoba memahami artinya,melakukan shalat malam,bergaul dengan orang yang baik atau shalih,memperbanyak shaum atau puasa,dzikir malam hari yang lama.
Barang siapa yang mampu melakukan salah salah satu dari kelima macam obat hati tersebut maka Allah akan mengabulkannya (permintaannya dengan menyembuhkan penyakit yang diderita).
Al-Quran dianggap sebagai terapi yang pertama dan utama, sebab di dalamnya terdapat rahasia mengenai bagaimana menyembuhkan penyakit jiwa manusia. Tingkat kemujarabannya sangat tergantung seberapa jauh tingkat sugesti keimanan seseorang. Sugesti yang dimaksud dapat diraih dengan mendengar, membaca, memahami dan merenungkan, serta melaksanakan isi kandungannya:
Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS. Al-Isra, 71:82).
Terapi yang kedua adalah melakukan shalat malam (qiyamul lail). Keampuhan terapi shalat sunnah ini sangat terkait dengan pengamalan shalat wajib, sebab kedudukan terapi shalat sunnah hanya menjadi suplemen bagi terapi shalat wajib. Adapun hikmah dari pelaksanaan shalat malam dalam hal ini shalat tahajud adalah:
1. Mendapat kedudukan terpuji di hadapan Allah SWT.
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji. (QS. Al-Israa, 71:79).
2. Memiliki kepribadian orang-orang salih yang dekat dengan Allah SWT., terhapus dosanya dan terhindar dari perbuatan munkar.
3. Jiwanya selalu hidup sehingga mudah mendapatkan ilmu dan ketentraman dan dijanjikan kenikmatan syurga.
4. Doanya makbul, mendapat ampunan Allah SWT., dan dilapangkan rizkinya.
5. Ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT.
Shalat secara umum memiliki empat aspek terapeutik, pertama adalah aspek olahraga, karena shalat adalah suatu proses yang menuntut aktivitas fisik yang di dalamnya terdapat proses relaksasi. Salah satu teknik yang banyak dipakai dalam proses terapi gangguan jiwa adalah latihan relaksasi. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Nizami diungkap bahwa shalat menghasilkan bio energi yang menghantarkan si pelaku dalam situasi seimbang (equilibrium). Hasil penelitian lainnya dari Arif Wisono Adi, 1985 (dalam Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori, 1994) menunjukan adanya korelasi negatif yang signifikan antara keteraturan menjalankan shalat dengan tingkat kecemasan. Makin rajin dan teratur orang melakukan shalat maka makin rendah tingkat kecemasannya.
Kedua adalah aspek meditasi. Shalat adalah proses yang menuntut konsentrasi yang dalam (khusuk) dan kekhusukan dalam shalat adalah suatu proses meditasi, yang dalam beberapa penelitian dikatakan bahwa aktivitas meditasi dapat menghilangkan kecemasan.
Ketiga adalah aspek auto-sugesti. Bacaan dalam pelaksanaan shalat adalah ucaapan yang dipanjatkan pada Allah. Di samping berisi pujian pada Allah juga berisikan doa dan permohonan pada Allah agar selamat di dunia dan di akhirat. Proses shalat pada dasarnya adalah terapi yang tidak berbeda dengan terapi “self-hypnosis” dengan mensugesti diri sendiri dengan mengucapakan hal-hal yang baik pada diri sendiri agar memiliki sifat yang baik tersebut.
Keempat adalah aspek kebersamaan. Hal ini tampak pada saat pelaksanaan shalat berjamaah yang pada pelaksanaannya memupuk rasa kebersamaan. Beberapa ahli psikologi berpendapat bahwa perasaan “keterasingan” dari orang lain adalah penyebab utama terjadinya gangguan jiwa. Dengan shalat berjamaah perasaan terasing dari orang lain itu dapat hilang.
Terapi yang ketiga adalah bergaul dengan orang salih. Orang yang salih adalah orang yang mampu mengintegrasikan dirinya dan mampu mengaktualisasikan potensinya semaksimal mungkin dalam berbagai dimensi kehidupan. Jika seseorang dapat bergaul dengan orang salih maka nasihat-nasihat dari orang salih tersebut akan dapat memberikan terapi bagi kelainan atau penyakit mental seseorang. Dalam terminologi tasawuf hal ini tergambar pada seorang guru sufi atau mursyid yang memiliki ketajaman batin terhadap kondisi penyakit muridnya.
Terapi yang keempat adalah melakukan puasa. Maksud puasa di sini adalah menahan (imsak) diri dari segala perbuatan yang dapat merusak citra fitri manusia. Al-Ghazali mengemukakan bahwa hikmah berpuasa (menahan rasa lapar) adalah:
Menjernihkan kalbu dan mempertajam pandangan akalMelembutkan kalbu sehingga mampu merasakan kenikmatan batinMenjauhkan perilaku yang hina dan sombong, yang perilaku ini sering mengakibatkan kelupaanMengingatkan jiwa manusia akan cobaan dan azab Allah, sehingga sangat hati-hati di dalam memilih makananMemperlemah syahwat da tertahannya nafsu amarah yang burukMengurangi tidur untuk diisi dengan berbagai aktivitas ibadahMempermudah untuk selalu tekun beribadahMenyehatkan badan dan jiwaMenumbuhkan kepedulian sosialMenumbuhkan rasa empati
Terapi yang kelima adalah zikir. Dalam arti sempit zikir berarti menyebut asma-asma agung dalam berbagai kesempatan. Sedangkan dalam arti yang luas, zikir mencakup pengertian mengingat segala keagungan dan kasih sayang Allah SWT. yang telah diberikan kepada kita, sambil mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Zikir dapat mengembalikan kesadaran seseorang untuk mengingat, menyebut dan mereduksi kembali hal-hal yang tersembunyi dala hatinya. Zikir juga mampu mengingatkan seseorang bahwa yang membuat dan menyembuhkan penyakit hanyalah Allah SWT., semata sehingga zikir mampu memberi sugesti penyembuhannya, melakukan zikir sama nilainya dengan terapi relaksasi.
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra’d, 13:28).
Studi Kasus
Fulan adalah seorang laki-laki berusia 20 tahun dan merupakan salah seorang mahasiswa di sebuah PTN di Bandung. Pada saat duduk di bangku SMA, Fulan dikenal sebagai siswa yang cukup ditakuti di sekolahnya, karena kebiasaannya berperilaku kasar dan “menindas” siswa-siswa lain dan hal ini pun terjadi hingga duduk dibangku kuliah.
Suatu saat Fulan bertemu dengan seorang aktivis kerohanian di kampus tempat Fulan kuliah. Berawal dari perbincangan ringan Fulan mulai tertarik untuk masuk ke dalam komunitas aktivis kerohanian tersebut dan meninggalkan lingkungan dan teman-teman tempat dia biasa menghabiskan waktunya. Setelah sekian lama ternyata banyak hal yang berubah dari diri Fulan, kebiasaannya berperilaku kasar kepada orang lain sudah tidak nampak lagi pada dirinya. Sekarang Fulan lebih dikenal sebagai ahli mesjid yang rajin shalat, shaum sunnah dan sangat ramah kepada orang lain.
Apabila kita melihat perubahan yang tampak pada diri Fulan dengan perspektif psikologi Islami, maka benang merahnya akan sangat jelas terlihat, bahwa lingkungan yang kondusif dalam hal ini komunitas orang-orang saleh dan pemaknaan terhadap ibadah shalat dan shaum merupakan unsur-unsur terapeutik yang berpengaruh terhadap perubahan pada diri Fulan. Kepribadian Fulan yang sebelumnya didominasi oleh aspek nafsu dikikis perlahan-lahan dengan aktivitas-aktivitas spirtitual yang mampu meningkatkan derajat kepribadiannya. Diawali dengan tobat dan kesadaran akan dosa-dosa yang telah dilakukan, tidak mengulanginya kembali dan mengisi setiap waktu dalam hidup dengan aktivitas yang sudah digariskan dalam syari’at.
IV. TINJAUAN KRITIS TERHADAP ALIRAN-ALIRAN DALAM PSIKOLOGI MODERN
Psikoanalisis, suatu aliran psikologi yang dipelopori oleh Sigmund Freud yang memandang bahwa manusia adalah mahluk yang hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan libido (id) dan memandang manusia sangat ditentukan oleh masa lalunya. Teknik terapinya sendiri menekankan fungsi pemecahan masalah dari ego yang berlawanan dengan impuls seksual dan agresif dari id. Kritik atas Freud dan para pengembang teorinya dikarenakan adanya penyederhanaan terhadap kekuatan dorongan (kekuatan libido / dorongan seksual) sehingga menutupi kemungkinan adanya kekuatan lain yang dapat menggerakkan manusia untuk berpikir dan bertindak. Karena pada dasarnya manusia adalah wujud mahluk yang sangat kompleks, memiliki begitu banyak dimensi kebutuhan untuk mengisi kehidupanya sehingga menjadi rumit pula untuk direka sumber dari pemikiran-pemikirannya serta tindakan-tindakannya. Kita tidak dapat hanya menjelaskan bahwa perilaku X adalah hasil dari suatu sebab kausal yang linier dari satu keadaan atau dorongan.
Kritikan lainnya adalah bagaimana Freud menggambarkan manusia sebagai wujud mahluk yang begitu pesimis dapat keluar dari belenggu impulsnya dalam ketidakberdayaannya melawan libidonya. Seolah tidak ada potensi, misalnya berupa akal, kata hati atau nurani dan keyakinan akan dukungan kekuatan supranatural berupa iman dan taqwa kepada Tuhannya, yang dapat dikembangkan oleh dirinya sendiri untuk melawan hal yang instingtif itu. Dengan demikian manusia menjadi tidak lagi berbeda dengan mahluk hewan yang bergerak hanya atas dasar instingnya saja. Akumulasi dari insting manusia yang mengarah pada suatu dorongan untuk bertindak harus diyakini merupakan hasil dari suatu wujud yang sudah terintegrasi melalui olahan akal, sentuhan nurani dan landasan keyakinan moral dan agama. Sedangkan insting hewani adalah potensi yang tidak mendapat imbuhan tersebut, sehingga tetap dalam bentuknya yang paling dangkal, tidak terolah, namun perlu dipertahankan demi kalangsungan mahluk itu.
Behaviorisme, suatu aliran psikologi yang dimotori oleh Jhon Broadus Watson yang memandang bahwa pada dasarnya ketika dilahirkan manusia tidak membawa bakat apa-apa dan bahwa manusia semata-mata melakukan respon atau tanggapan terhadap suatu rangsangan. Pandangan semacam ini akan memberi penekanan yang sangat besar pada aspek stimulasi lingkungan untuk mengembangkan manusia dan kurang menghargai faktor bakat atau potensi alami manusia. Behaviorisme sangat mungkin memandang manusia secara pukul rata, padahal potensi individual manusia sangat beragam. Pandangan ini beranggapan bahwa apa pun jadinya seorang, maka satu-satunya yang menentukan adalah lingkungannya. Teknik tertapinya sendiri adalah dengan modifikasi perilaku individu seperti desentisasi sistematik, flooding, penguatan sistematis, pemodelan dan pengulangan perilaku yang pantas.
Humanistik, suatu aliran psikologi yang dipelopori oleh Abraham Maslow, berpandangan bahwa pada dasarnya manusia adalah baik dan bahwa potensi manusia adalah tidak terbatas. Pandangan ini sangat optimistik dan bahkan terlampau optimistik terhadap upaya pengembangan sumber daya manusia, sehingga manusia dipandang sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan play God (peran Tuhan). Karena tingginya kepercayaan terhadap manusia, maka sangat mungkin muncul sikap membiarkan terhadap perilaku apa pun yang dilakukan orang lain. Teknik terapinya sendiri dilakukan dengan pendekatan fenomenologi kepribadian yang membantu individu menyadari diri sesungguhnya dan memecahkan masalah dengan intervensi ahli terapi yang minimal. Gangguan psikologis diduga timbul jika proses pertumbuhan potensi dan aktualisasi diri terhalang oleh situasi atau oleh orang lain. Carl Rogers yang mengembangkan psikoterapi (clien-centered-therapy), percaya bahwa karakteristik ahli terapi yang penting untuk kemajuan dan eksplorasi-diri klien adalah empati-kehangatan dan ketulusan.
V. PENUTUP
Psikologi Islami dan psikoterapi berwawaan Islam adalah lebih dari sekedar memprediksi, menerangkan dan mengontrol perilaku manusia, tetapi juga mengarahkan perilaku itu untuk mencapai ridha-Nya. Dengan demikian kehadiran psikologi Islami dipenuhi dengan suatu misi besar, yaitu menyelamatkan manusia dan mengantarkan manusia untuk memenuhi kecenderungan alaminya untuk kembali pada-Nya dan mendapatkan ridha-Nya. Karena tugas final psikologi Islami dan psikoterapi berwawasan Islam itu adalah untuk menyelamatkan manusia, maka psikologi harus memanfaatkan ajaran-ajaran agama.
Psikologi Islami dan psikoterapi berwawasan Islam disusun dengan memakai Al-Quran dan sunnah sebagai acuan utamanya. Sementara Al-Quran sendiri diturunkan bukan semata-mata untuk kebaikan umat Islam, tetapi untuk kebaikan umat manusia seluruhnya: