Kita semua sedang terancam. Makanan kita dikebiri, umur diancam waktu, anak perempuan kelak akan diperkosa, otak kita diincar kedangkalan.
Kita tak lagi membaca buku, tak mengenal hal dengan dalam, lupa pada kematian, sibuk menghindarkan diri dari bahaya. Kesepian yang mengancam telah mengantarkan kita pada obrolan panjang dalam ponsel. Aku takut akan hal ini. Kamu takut akan hal apa. Kita terancam oleh ketertinggalan. Sebagian dari kita mencoba melarikan diri barang 2 hari, ke gunung, pantai, dan laut. Lalu, kembali tenggelam dalam kabar-kabar yang berpendar. Menunduk membacai hal-hal yang tak sudah.
Apa di depan masih ada cerita? Tentang hidup yang akan kita jalani. Tentang yang seperti ini dan seperti itu? Semua berlalu sangat cepat. Marah, tertawa, sedih, dan gila dapat berlangsung 2 detik. Sibuk. Sangat-sangat sibuk. Lalu di pengujung malam, kesepian dan ketakutan kembali datang, mencekik pelan-pelan leher yang tak pernah dilatih menjadi kokoh. Rasa-rasanya, semua orang kalah optimis ketimbang tukang parkir atau petani dengan setengah petak lahan. Rasa-rasanya. Rasa-rasanya menjadi sangat sulit untuk mengerti semua orang. Mereka semua memiliki rahasia dan pekerjaan. Yang cepat dan sangat cepat. Yang kelak, pasti dapat meninggalkan kita, atau menjadikan kita sesuatu yang tak layak disebut signifikan.
Kita merasa terancam oleh hal-hal yang kebanyakan, masih perlu dipertanyakan. Atau bahkan sama sekali tak perlu dipikirkan. Sementara, di puncak bukit sana, anak-anak yang tengah asik bermain sumringah menyambut ibu mereka yang baru pulang. Sebentar lagi, ketika matahari turun dan lenguhan sapi memelan, ayah akan datang. Hanya itu dan begitu. Setiap hari. Mereka tak tahu banyak dan tak membahas hal-hal yang terlalu banyak. Seperti itu, orang-orang yang memilih tak mengkhawatirkan banyak hal.