-->
Nyalakan.com

follow us

[Sebuah Cerpen] Terima Kasih Papa

Nyalakan.comPagi itu hari terindah untuk Khanza, Kenapa? Karena Papa dengan keyakinan dan ketekunan serta kesungguhan berhasil mendapat Reward dan diangkat menjadi direktur utama di kantornya. Dengan hal itu , Papa selalu mengingatkan Khanza akan pentingnya keyakinan, kesungguhan dan ketekunan dalam mencapai cita-cita atau sesuatu yang kita harapkan.


“Alhamdulillah, selamat untuk Papa” Ujar Khanza mendekat dan kemudian mendekap Papa

“Alhamdulillah, Terimakasih sayang” Papa terharu dan membalas dekapan hangat Khanza dengan penuh kasih sayang.

“Ternyata Papa benar, 3 Kata yang menjadi bekal Papa sebelum ke kantor, menghadiahkan kesuksesan seperti ini” Sahut Khanza, Kemudian perlahan melonggorkan dekapan hangat Papa. Dengan terharu dan mata berkaca-kaca Papa memegang pundak Khanza.

“Anakku Sayang, Apapun yang terjadi hari ini, esok dan lusa atau entah kapan itu semua sudah dirancang manis Oleh Tuhan Yang Maha Esa” Ujar Papa melanjutkan.

“Apapun itu, Baik atau buruk kita hanya menjalani, menikmati dan menerima semua itu sebagai karunia dari Sang Khalik. Kita hanyalah Aktor yang sudah punya peran masing-masing dan tugas kitalah untuk melaksankan peran itu sebaik mungkin peran itu” Tutup Papa sembari tetap menatap mata Khanza.

Lalu Papa dan Khanza pun terdiam, Merenung entah apa yang direnung, dan seakan berfikir tapi entah apa yang difikirkan. Dan tiba-tiba.

“Andai.. Waktu itu Tuhan belum mengambil Mama dari kita….” Bulir bening mengalir pelan di pipi Khanza yang merah jambu. Menetes jatuh di hijab Khanza dan kemudian menghilang.

“Khanza….. Jika di balik suatu kesedihan itu ada tangis, Maka di balik tangis itu Tuhan telah menyiapkan sesuatu yang indah, Yakinlah…” Suara Papa berat dan sedikit tertahan. Dirangkulnya kembali Kanza ke dalam pelukan. Papa menyembunyikan air matanya.

“Papa… Maafin Khanza, Khanza tidak bermaksud membuat Papa sedih” Ujar Khanza terus tenggelam dalam pelukan Papanya.

“Ga Pa Pa Sayang….” Sahut Papa menenangkan Khanza sambil bergumam lirih..

“Khanza.. Sesungguhnya Tuhan masih sangat sayang…. Dan akan selalu sayang” Papa membatin.
Setelah kerinduan Khanza pada sosok Mama, Khanza menenangkan dirinya dengan mendirikan sholat Dzuhur. Khanza mengenakan mukena hijau tua pemberian Mama pada kado ulang tahunnya yang ke sepuluh.

“Allahu Akbar….” Khanza bertakbir.
Baru sebatas Alfatihah rakaat pertama, Wajah Khanza menangis lagi. Rasanya setiap rakaat seakan-akan penuh nikmat. Rakaat demi rakaat terasa manis untuk diakhiri. Meski dengan air mata. Dzuhurpun terselesaikan Khanza. Dengan tengadah Kahanza terngiang kembali ketika gelak tawa Papa, Mam dan Khanza menyatu dan bergema di ruang keluarga. Teringat Mama yang pulang kerja dengan sangat lelah. Terbayang masakan Mama yang dibuat dengan penuh cinta. Setiap pagi, siang dan malam yang dihidangkan untuk Khanza dan Papa. Terbayang senyum Mama yang menyambutnya di depan pintu setiap pulang sekolah. Terbayang Senyum Mama di ujung gerbang ketika menjemput Khanza di sekolah.

***

16 Tahun kemudian…….

Hari-hari Khanza berlalu begitu cepat, Hari yang dilalui Khanza hampir sepenuhnya sendiri. Papa sejak kenaikan pangkatnya menjadi super sangat sibuk di kantornya. Papa hanya memeiliki waktu sedikit untuk Khanza, Kadang dalam sebulan hanya 1 kali itupun waktu makan malam saja. Tapi waktu tetaplah waktu dan akan terus berlalu tanpa menunggu. Sekarang Khanza gadis kecil yang dulu kini tumbuh dewasa. Gadis cantik bernama Khanza tumbuh dengan hijabnya. Keanggunannya mampu menundukkan setiap pandangan. Dia Khanza mewarisi mata cantik ibunya, dan dagu lancip Papanya.

“Assalamu’alaikum…” Uacap Khanza sore itu
Wa ‘alaikum salam…” Papa menjawab salam

“Bagaimana kuliahnya hari ini sayang? Lanjut Papa

“Alhamdulillah lancar Papap” Khanza menjabat tangan Papa kemudian mengecupnya lembut, Tangan yang sudah mulai mengerut itu mengguratkan bahwa Papa sudah sedikit tua.
Tak tahan memandang, Khanza menuju kamarnya. Tapi Papa tiba-tiba menanhan tangan Khanza. Khanza kelihatan bingung. Entah kenapa karena tidak biasanya Papa bersikap demikian kepada Khanza.

“Khanza….” Papa tertahan dan berusaha merobah rona mukanya dengan mencoba menghela nafas panjang. Kemudian menghembuskannya dan kemudian melanjutkan.

“Khanza, Sekarang kamu sudah dewasa sayang. Kamu sudah menggapai cita-citamu, Yaitu menjadi seorang dokter.Jadi… Jangan lupakan 3 Kata itu. Dengan itulah kamu akan menjadi seorang dokter. Dan Papa percaya kamu bias melakukan itu. Dan tetaplah istiqomah”

“Jika suatu saat Papa sudah tidak bersama kamu lagi. Papa sudah siap. Karenna Papa sudah melihat puncak awal keberhasilannmu Khanza. Ingat pesan Papa….” Papa terbata, Terlihat bulir bening itu mengumpul di sudut mata Papa yang mengerut dan menua.

“Papa berharap Kamu tidak sombong atas semua yang telah kamu raih. Tetaplah rendah hati, Sopan dan santun sayang” Tutup Papa, Kemudian meraih Khanza ke dalam dekapannya.

Khanza melunglai saat Papa mengucapkan semua itu. Airmatanya buncah dan tumpah menjadi isak tangis yang tidak bisa ditahan lagi. Di dalam dekapan Papa, Khanza menumpahkan semua tangisnya. Pelukan Papa tetap damai sama seperti pelukan biasanya yang mana pelukan inilah yang selalu menenangkan gundahnya. Tak ada yang berubah, Hanyalah tubuh Papa saja yang sedikit membungkuk. Lebih rapuh dari sebelumnya.

Dalam tangis, khanza coba berucap entah untuk menenangkan hatinya ataukah untuk menegarkan jiwa-jiwa rapuh dua insan ini. Papa dan Khanza.

“Papa…”

“Apa Papa masih ingat, Pa yang selalu Papa wejangkan ke Khanza? Kalau di balik suatu kesedihan itu ada tangis. Maka di balik tangis itu Tuhan telah menggambarkan sesuatu yang indah? Dan inilah tangisan itu Papa, dan ini jugalah sesuatu yang indah itu Papa” Khanza tertahan. Airmatanya terjun bebas di pipi.

“Jadi…. Apa yang akan terjadi, Khanza akan berusaha ikhlas dan Isya Allah menerima itu semua dengan lapang hati….” Ucap Khanza dengan memeluk semakin erat Papa, Meski tangis menggoncang tubuh Khanza. Tapi dekapan Papa menegarkannya.

“Khanza…. Papa yakin kamu akan jadi dokter yang baik dan bijaksana” Papa perlahan melepaskan dekapannya. Kemudian menghapus airmata Khanza anak Gadis semata wayangnya. Papa menyuruh Khanza untuk istirahat terlebih dahulu, Khanza pun berlalu dengan bisu menuju kamarnya.

***

Malam pun berlalu dan pagi pun datang, mata yang semalam tadi menangis, menyembab dan sedikit memerah. Maklum Khanza bertahajjud seperti biasanya dan melanjutkan subuh. Pagi ini hati Khanza sedikit tenang setelah lail malam yang Khanza dirikan.

Setelah siap sedia mau berangkat kuliah Khanza seperti mendengar sesuatu yang jatuh dari kamar sebelah, Tepatnya kamar Papa. Khanza berlari menuju kamar Papa. Dengan Kalap Kahanza membuka pintu kamar Papa. Alangkah kagetnya Khanza ketika dilihatnya Papa tertelentang gemetar di ranjang. Mata Papa melirik ke sana ke mari. Suaranya putus putus terbata bata.

Khanza langsung menghampiri dan langsung memeluk Papa. Papa terbata terdengar seperti berbisik merangkul Khanza.

“sayang…” Sangat lirih

“Papa… Sayang Kamu Nak…” Semakin lirih…

“Khanza juga Papa…” Airmata Khanza langsung mengucur deras

“Maafin Papa Sayang,, Jangan Menangis Manisku, Jangan Menangis Khanza” Ucap Papa semakin tertatih. Mulut Papa bergerak seperti orang kedinginan. Bibir itu terus bergerak, seakan sedang bertasbih atau mungkin bertahlil. Khanza hanya mendengar samar.

“La. Illa Ha..” Mulut Papa terus mencoba bergerak.

“La ila ha illa llaah..…. Mu….hammad dar rasulullah…” Khanza berusaha membimbing Papa.. Kemudian mata itu tertutup, hening dan tak lagi bergerak. Tubuh Khanza terguncang hebat, tertahan seakan ingin berteriak.

“Pa….” Khanza memeluk tubuh Papa, Khanza mencoba menahan airmatanya agar tak jatuh, Berusaha menahan tangis. Berusaha menahan pekikannya sendiri hingga tubuh Khanza bergetar.

***

Di gundukan tanah yang masih memerah Khanza masih tertunduk, Memegang nisan Papa yang tertulis nama Papa. Papa di makamkan tepat di samping makam Mama, Khanza tetap dalam lantunan doa-doanya, Meski Pemakanan sudah sepi, Hanya ada Tante Rina adik Mama di ujung sana, Tak jauh dari Khanza, Menunggu Khanza di bawah gerimis, Tante Rina sepertinya membiarkan Khanza menikmati doanya dulu. Doa yang Khanza lafazkan untuk Papa dan Mama.

“Selamat Jalan Papa,… Mama…. Semoga Allah mengambil Papa dan Mama dalam Nikmatnya Iman dan Taqwa” Khanza kembali terisak, Airmatanya buncah dan tumpah.

“Papa..Mama..Sampai jumpa kembali di Firdaus-Nya” Khanza beringsut tegak. Menoleh Tante Riina yang sedari tadi menunggunya. Hari itu berjalan damai, Ditemani gerimis dan gugurnya dedaunan di pemakaman. Khanza siap dalam kesendiriannya. Siap melaksanakan wasiat Papanya. Yaitu hidup baik, Bijaksana, dan tetap sopan lagi santun.

“Khanza… Kamu harus kuat” Guman Khanza, seperti tak terdengar, Khanza melangkah meninggalkan pemakaman, Gundukan tanah yang masih merah. Jadi saksi Khanza gadis kecil Papa dulu. Kini akan tumbuh jadi Dokter yang bijaksana, Adil dan sopan serta santun. Itulah pesan Papa.

“Bila selangkah Ku dating Pada-Mu, Seribu langkah Kau datang padaku, Tuntunlah Hamba-Mu ini ya Allah” Khanza bergumam lirih.

"Terima Kasih Papa" 
Cerpen "Terima Kasih Papa" ditulis oleh Nada Sri Jayani, Siswi Jenjang Akhir MTsN Koto Baru Kabupaten Dharmasraya. Nada Sri Jayani telah menyukai menulis khususnya cerpen dari kecil, Gadis berwajah ayu ini awalnya membuat cerpen ini sebelumya adalah untuk tugas Bahasa Indonesia yang diberikan oleh Ibu Asrama Dahayati, S.Pd.I. Cerpen ini di edit oleh Afriant Ishaq. Untuk melihat skrip asli tulisan tangan Nada Sri Jayani, Silahkan klik ikon Preview yang tersedia di atas tulisan box hitam atau Download untuk mengunduh versi asli tulisan tangan.

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar