“Alhamdulillah, selamat
untuk Papa” Ujar Khanza mendekat dan kemudian mendekap Papa
“Alhamdulillah,
Terimakasih sayang” Papa terharu dan membalas dekapan hangat Khanza dengan
penuh kasih sayang.
“Ternyata Papa benar, 3
Kata yang menjadi bekal Papa sebelum ke kantor, menghadiahkan kesuksesan
seperti ini” Sahut Khanza, Kemudian perlahan melonggorkan dekapan hangat Papa.
Dengan terharu dan mata berkaca-kaca Papa memegang pundak Khanza.
“Anakku Sayang, Apapun
yang terjadi hari ini, esok dan lusa atau entah kapan itu semua sudah dirancang
manis Oleh Tuhan Yang Maha Esa” Ujar Papa melanjutkan.
“Apapun itu, Baik atau
buruk kita hanya menjalani, menikmati dan menerima semua itu sebagai karunia
dari Sang Khalik. Kita hanyalah Aktor yang sudah punya peran masing-masing dan
tugas kitalah untuk melaksankan peran itu sebaik mungkin peran itu” Tutup Papa
sembari tetap menatap mata Khanza.
Lalu Papa dan Khanza
pun terdiam, Merenung entah apa yang direnung, dan seakan berfikir tapi entah
apa yang difikirkan. Dan tiba-tiba.
“Andai.. Waktu itu Tuhan
belum mengambil Mama dari kita….” Bulir bening mengalir pelan di pipi Khanza
yang merah jambu. Menetes jatuh di hijab Khanza dan kemudian menghilang.
“Khanza….. Jika di
balik suatu kesedihan itu ada tangis, Maka di balik tangis itu Tuhan telah
menyiapkan sesuatu yang indah, Yakinlah…” Suara Papa berat dan sedikit
tertahan. Dirangkulnya kembali Kanza ke dalam pelukan. Papa menyembunyikan air
matanya.
“Papa… Maafin Khanza,
Khanza tidak bermaksud membuat Papa sedih” Ujar Khanza terus tenggelam dalam pelukan
Papanya.
“Ga Pa Pa Sayang….”
Sahut Papa menenangkan Khanza sambil bergumam lirih..
“Khanza.. Sesungguhnya
Tuhan masih sangat sayang…. Dan akan selalu sayang” Papa membatin.
Setelah kerinduan
Khanza pada sosok Mama, Khanza menenangkan dirinya dengan mendirikan sholat
Dzuhur. Khanza mengenakan mukena hijau tua pemberian Mama pada kado ulang
tahunnya yang ke sepuluh.
“Allahu Akbar….” Khanza
bertakbir.
Baru sebatas Alfatihah
rakaat pertama, Wajah Khanza menangis lagi. Rasanya setiap rakaat seakan-akan
penuh nikmat. Rakaat demi rakaat terasa manis untuk diakhiri. Meski dengan air
mata. Dzuhurpun terselesaikan Khanza. Dengan tengadah Kahanza terngiang kembali
ketika gelak tawa Papa, Mam dan Khanza menyatu dan bergema di ruang keluarga.
Teringat Mama yang pulang kerja dengan sangat lelah. Terbayang masakan Mama
yang dibuat dengan penuh cinta. Setiap pagi, siang dan malam yang dihidangkan
untuk Khanza dan Papa. Terbayang senyum Mama yang menyambutnya di depan pintu
setiap pulang sekolah. Terbayang Senyum Mama di ujung gerbang ketika menjemput
Khanza di sekolah.
***
16 Tahun kemudian…….
Hari-hari Khanza
berlalu begitu cepat, Hari yang dilalui Khanza hampir sepenuhnya sendiri. Papa
sejak kenaikan pangkatnya menjadi super sangat sibuk di kantornya. Papa hanya
memeiliki waktu sedikit untuk Khanza, Kadang dalam sebulan hanya 1 kali itupun
waktu makan malam saja. Tapi waktu tetaplah waktu dan akan terus berlalu tanpa
menunggu. Sekarang Khanza gadis kecil yang dulu kini tumbuh dewasa. Gadis
cantik bernama Khanza tumbuh dengan hijabnya. Keanggunannya mampu menundukkan
setiap pandangan. Dia Khanza mewarisi mata cantik ibunya, dan dagu lancip Papanya.
“Assalamu’alaikum…”
Uacap Khanza sore itu
Wa ‘alaikum salam…”
Papa menjawab salam
“Bagaimana kuliahnya
hari ini sayang? Lanjut Papa
“Alhamdulillah lancar
Papap” Khanza menjabat tangan Papa kemudian mengecupnya lembut, Tangan yang
sudah mulai mengerut itu mengguratkan bahwa Papa sudah sedikit tua.
Tak tahan memandang,
Khanza menuju kamarnya. Tapi Papa tiba-tiba menanhan tangan Khanza. Khanza
kelihatan bingung. Entah kenapa karena tidak biasanya Papa bersikap demikian
kepada Khanza.
“Khanza….” Papa tertahan
dan berusaha merobah rona mukanya dengan mencoba menghela nafas panjang.
Kemudian menghembuskannya dan kemudian melanjutkan.
“Khanza, Sekarang kamu
sudah dewasa sayang. Kamu sudah menggapai cita-citamu, Yaitu menjadi seorang
dokter.Jadi… Jangan lupakan 3 Kata itu. Dengan itulah kamu akan menjadi seorang
dokter. Dan Papa percaya kamu bias melakukan itu. Dan tetaplah istiqomah”
“Jika suatu saat Papa
sudah tidak bersama kamu lagi. Papa sudah siap. Karenna Papa sudah melihat
puncak awal keberhasilannmu Khanza. Ingat pesan Papa….” Papa terbata, Terlihat
bulir bening itu mengumpul di sudut mata Papa yang mengerut dan menua.
“Papa berharap Kamu
tidak sombong atas semua yang telah kamu raih. Tetaplah rendah hati, Sopan dan
santun sayang” Tutup Papa, Kemudian meraih Khanza ke dalam dekapannya.
Khanza melunglai saat
Papa mengucapkan semua itu. Airmatanya buncah dan tumpah menjadi isak tangis
yang tidak bisa ditahan lagi. Di dalam dekapan Papa, Khanza menumpahkan semua
tangisnya. Pelukan Papa tetap damai sama seperti pelukan biasanya yang mana
pelukan inilah yang selalu menenangkan gundahnya. Tak ada yang berubah,
Hanyalah tubuh Papa saja yang sedikit membungkuk. Lebih rapuh dari sebelumnya.
Dalam tangis, khanza
coba berucap entah untuk menenangkan hatinya ataukah untuk menegarkan jiwa-jiwa
rapuh dua insan ini. Papa dan Khanza.
“Papa…”
“Apa Papa masih ingat,
Pa yang selalu Papa wejangkan ke Khanza? Kalau di balik suatu kesedihan itu ada
tangis. Maka di balik tangis itu Tuhan telah menggambarkan sesuatu yang indah? Dan
inilah tangisan itu Papa, dan ini jugalah sesuatu yang indah itu Papa” Khanza
tertahan. Airmatanya terjun bebas di pipi.
“Jadi…. Apa yang akan
terjadi, Khanza akan berusaha ikhlas dan Isya Allah menerima itu semua dengan
lapang hati….” Ucap Khanza dengan memeluk semakin erat Papa, Meski tangis
menggoncang tubuh Khanza. Tapi dekapan Papa menegarkannya.
“Khanza…. Papa yakin
kamu akan jadi dokter yang baik dan bijaksana” Papa perlahan melepaskan
dekapannya. Kemudian menghapus airmata Khanza anak Gadis semata wayangnya. Papa
menyuruh Khanza untuk istirahat terlebih dahulu, Khanza pun berlalu dengan bisu
menuju kamarnya.
***
Malam pun berlalu dan
pagi pun datang, mata yang semalam tadi menangis, menyembab dan sedikit
memerah. Maklum Khanza bertahajjud seperti biasanya dan melanjutkan subuh. Pagi
ini hati Khanza sedikit tenang setelah lail malam yang Khanza dirikan.
Setelah siap sedia mau
berangkat kuliah Khanza seperti mendengar sesuatu yang jatuh dari kamar
sebelah, Tepatnya kamar Papa. Khanza berlari menuju kamar Papa. Dengan Kalap
Kahanza membuka pintu kamar Papa. Alangkah kagetnya Khanza ketika dilihatnya
Papa tertelentang gemetar di ranjang. Mata Papa melirik ke sana ke mari.
Suaranya putus putus terbata bata.
Khanza langsung
menghampiri dan langsung memeluk Papa. Papa terbata terdengar seperti berbisik
merangkul Khanza.
“sayang…” Sangat lirih
“Papa… Sayang Kamu
Nak…” Semakin lirih…
“Khanza juga Papa…”
Airmata Khanza langsung mengucur deras
“Maafin Papa Sayang,,
Jangan Menangis Manisku, Jangan Menangis Khanza” Ucap Papa semakin tertatih.
Mulut Papa bergerak seperti orang kedinginan. Bibir itu terus bergerak, seakan
sedang bertasbih atau mungkin bertahlil. Khanza hanya mendengar samar.
“La. Illa Ha..” Mulut
Papa terus mencoba bergerak.
“La ila ha illa llaah..….
Mu….hammad dar rasulullah…” Khanza berusaha membimbing Papa.. Kemudian mata itu
tertutup, hening dan tak lagi bergerak. Tubuh Khanza terguncang hebat, tertahan
seakan ingin berteriak.
“Pa….” Khanza memeluk
tubuh Papa, Khanza mencoba menahan airmatanya agar tak jatuh, Berusaha menahan
tangis. Berusaha menahan pekikannya sendiri hingga tubuh Khanza bergetar.
***
Di gundukan tanah yang
masih memerah Khanza masih tertunduk, Memegang nisan Papa yang tertulis nama
Papa. Papa di makamkan tepat di samping makam Mama, Khanza tetap dalam lantunan
doa-doanya, Meski Pemakanan sudah sepi, Hanya ada Tante Rina adik Mama di ujung
sana, Tak jauh dari Khanza, Menunggu Khanza di bawah gerimis, Tante Rina
sepertinya membiarkan Khanza menikmati doanya dulu. Doa yang Khanza lafazkan
untuk Papa dan Mama.
“Selamat Jalan Papa,…
Mama…. Semoga Allah mengambil Papa dan Mama dalam Nikmatnya Iman dan Taqwa”
Khanza kembali terisak, Airmatanya buncah dan tumpah.
“Papa..Mama..Sampai
jumpa kembali di Firdaus-Nya” Khanza beringsut tegak. Menoleh Tante Riina yang
sedari tadi menunggunya. Hari itu berjalan damai, Ditemani gerimis dan gugurnya
dedaunan di pemakaman. Khanza siap dalam kesendiriannya. Siap melaksanakan
wasiat Papanya. Yaitu hidup baik, Bijaksana, dan tetap sopan lagi santun.
“Khanza… Kamu harus
kuat” Guman Khanza, seperti tak terdengar, Khanza melangkah meninggalkan
pemakaman, Gundukan tanah yang masih merah. Jadi saksi Khanza gadis kecil Papa
dulu. Kini akan tumbuh jadi Dokter yang bijaksana, Adil dan sopan serta santun.
Itulah pesan Papa.
“Bila selangkah Ku dating
Pada-Mu, Seribu langkah Kau datang padaku, Tuntunlah Hamba-Mu ini ya Allah”
Khanza bergumam lirih.
"Terima Kasih Papa"
Cerpen "Terima Kasih Papa" ditulis oleh Nada Sri Jayani, Siswi Jenjang Akhir MTsN Koto Baru Kabupaten Dharmasraya. Nada Sri Jayani telah menyukai menulis khususnya cerpen dari kecil, Gadis berwajah ayu ini awalnya membuat cerpen ini sebelumya adalah untuk tugas Bahasa Indonesia yang diberikan oleh Ibu Asrama Dahayati, S.Pd.I. Cerpen ini di edit oleh Afriant Ishaq. Untuk melihat skrip asli tulisan tangan Nada Sri Jayani, Silahkan klik ikon Preview yang tersedia di atas tulisan box hitam atau Download untuk mengunduh versi asli tulisan tangan.