"Wah.....senangnya, Ibu guru Y hari ini cair lo !"
"Cair kenapa nih ? sahut guru lain.
"Kan, Ibu Y sudah menerima uang pencairan sertifikasi"
"hahaha......" tawa Ibu guru Y dengan bangganya.
Itulah sekelumit candaan beberapa guru yang sempat terlintas di kuping saya, keceriaan pun begitu nampak tergambar di wajah mereka yang baru saja menerima uang sertifikasi. Namun, rusuh rasanya ketika harus menyaksikan sebuah pemandangan yang membuat saya serasa kembali ke masa lalu, masa tahun 80-an, masa dimana saya sekolah terulang kembali, masa-masa salah seorang teman saya harus berdiri di atas bangku kecil untuk menulis materi pelajaran di papan tulis sedangkan saya dan teman-teman lain mencatatnya di buku tulis, sesekali salah satu teman saya maju ke depan dan bertanya sambil menunjuk tulisan yang tidak dimengerti, mencatat pun harus cepat karena kalau ketinggalan, tulisan di bagian atas papan tulis akan dihapus.
Itulah salah satu gambaran kegiatan pemelajaran yang secara tidak sengaja saya saksikan ketika saya berjalan-jalan di depan sebuah sekolah dasar dan mengamati proses belajar oleh seorang guru yang baru saja menerima uang sertifikasi. Ironisnya,pada saat siswa mencatat pelajaran di papan tulis, gurunya sedang asyik melakukan aktivitas sendiri yakni ngobrol di kantor sambil makan-makan sampai jam pelajaran berakhir. Kalau dulu, di jaman saya sekolah, yakni tahun 80-an, mencatat di papan tulis sudah menjadi kegiatan rutin, alasannya waktu itu buku paket pelajaran yang dimiliki sekolah cuma satu, itupun dipegang oleh guru, kalau mau memiliki buku paket maka harus membeli sendiri dengan harga yang mahal, tapi bagi kami di pedesaan membeli buku pelajaran tidaklah berlaku karena boro-boro membeli buku, mencari makan saja susah.
Selain itu kekurangan guru yang menyebabkan guru harus loncat kelas agar siswa di kelas lain juga mendapat pelajaran.Sekarang alasan tersebut sudah tidak berlaku lagi karena sudah ada bantuan operasional sekolah (BOS) yang bisa digunakan untuk pengadaan buku paket pelajaran siswa, sementara jumlah guru pun sudah lebih dari cukup. Jadi, kalau jaman sekarang siswa mencatat pelajaran di papan tulis dan siswa lain menyalinnya di buku tulis masih sebagai kegiatan pemelajaran di kelas, berarti itu adalah kemalasan sang guru dalam mengajar.
Abad 21, abad dimana teknologi sudah sebagai kebutuhan pokok bagi anak, iternet sebagai sumber belajar yang kaya akan llmu, media sosial seperti facebook, twitter, dan lainnya berada di genggaman sebagai suatu bentuk interaksi mereka, bahkan cyberword sudah menjadi tempat bermain mereka, namun anak masih disuguhi dengan buku teks pelajaran dan disuruh mencatatnya di papan tulis bukanlah cara yang tepat untuk mengajar bahkan kalau boleh saya bilang itu adalah cara yang memilukan. Guru yang sudah menerima tunjangan sertifikasi seharusnya meningkatkan kinerja, membenahi cara maupun gaya mengajar semenarik mungkin, serta mengelola proses pemelajaran dengan maksimal sehingga hasil dapat meningkat signifikan, baik kualitas guru itu sendiri dalam mengelola pembelajaran di kelas maupun kualitas peserta didiknya.
Namun ironis dan sangat ironis sekali, alih-alih meningkatkan kualitas dalam mengajar, justru yang terjadi malah duduk santai berkipas duit sertifikasi dan berbangga diri, bahkan ada guru yang sudah menggadaikan uang sertifikasinya untuk kredit mobil. Sebenarnya tidak ada yang salah, itu hak mereka, namun tidakkah merasa malu, sudah mendapat sertifikasi namun kualitas mengajar masih jalan di tempat.
Pada tahun 2011 Bank Dunia mengeluarkan hasil survei tentang kegiatan belajar mengajar di beberapa negara, termasuk Indonesia, hasilnya program sertifikasi guru di Indonesia dinilai gagal dalam meningkatkan kualitas guru dalam mengajar. Tanggal 14 Maret 2013, lagi-lagi Bank dunia meluncurkan publikasi ”Spending More or Spending Better : Improving Education Financing in Indonesia”. Publikasi itu menunjukkan, para guru yang telah memperoleh sertifikasi dan yang belum ternyata menunjukkan prestasi yang relatif sama. Saya tidak heran dengan hasil survei dan publikasi tersebut, alasannya berdasarkan apa yang saya saksikan merupakan salah satu bukti nyata atas apa yang dipublikasikan oleh Bank Dunia.
Kadang timbul pertanyaan di benak saya, seperti inikah guru yang sudah disertifikasi, pantaskah guru seperti ini mendapatkan hak sertifikasinya, atau jangan-jangan pemberian sertifikasi guru atas dasar asal-asalan, asal kuliah, asal sarjana, asal mengajar, asal dapat uang sertifikasi. Kurang apalagi pemerintah, setiap tahun gaji dinaikkan, sertifikasi pun sudah di tangan, “pekerjaannya satu gajinya doble”, tapi kalau masih asal-asalan mengajar mendingan sertifikasi guru dihapus saja, atau dana untuk sertifikasi dialihkan saja untuk guru honor yang notabene para guru honor juga melaksanakan pekerjaan dan tugas yang sama.
Bahkan saya pernah membaca sebuah artikel dari seorang guru yang sudah bersertifikat pendidik isinya keluhan terhadap 24 jam tatap muka yang harus dipenuhi, disamping itu harus melengkapi administrasi guru dan lainnya. Sejatinya semua itu adalah kewajiban yang tidak perlu dijadikan beban namun harus ditunaikan sebagai bentuk ibadah sejati kepada sang Khalik. Sampai saat ini, bagi saya sertifikasi guru masih menjadi tanda tanya untuk apa dan untuk siapa, kalau sertifikasi guru diberikan sebagai penghargaan, kenapa tidak diberikan saja kepada semua guru yang sudah mengabdi selama berpuluh tahun bahkan lebih.
Kalau sertifikasi guru sebagai alat untuk mensejahterakan guru, kenapa tidak diberikan saja kepada seluruh guru tanpa memandang kualifikasi pendidikan sehingga kesejahteraan semua guru meningkat. Kalau pemberian sertifikasi guru sebagai sebuah bentuk profesionalitas, kenapa diberikan kepada guru yang masih bermalas-malasan mengajar. Pada tahun 2009 anggaran pendidikan naik menjadi 20 %, yakni Rp 224 triliun. Namun, ternyata sampai sekarang belum banyak memberikan bukti nyata dalam pendidikan, karena anggaran 20 % tersedot hanya untuk pembayaran gaji dan sertifikasi guru. Bahkan tahun 2014, pemerintah menaikkan kembali anggaran pendidikan sebesar Rp 371,2 triliun, naik 7,5 persen dari anggaran pendidikan 2013 yang sebesar Rp 345,3 triliun, kenaikan anggaaran itu dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, seperti peningkatan kualitas guru termasuk di dalamnya sertifikasi guru dan implementasi kurikulum 2013.
Sebuah jumlah yang begitu fantastis, kalau saja anggaran sebesar itu lagi-lagi terkuras hanya untuk pembayaran sertifikasi guru, namun kualitas mengajar guru tidak meningkat, berarti program sertifikasi guru dipaksakan. Dalam hal ini, seharusnya pemerintah meninjau ulang kembali pemberian tunjangan sertifikasi guru, menghapus atau mekanismenya yang harus diperbaiki, sehingga tidak terjadi inifisiensi anggaran dan sertifikasi guru tidak salah sasaran.
Berikut saya rangkum sedikit tentang manfaat, dasar dan tujuan dari sertifikasi guru :
Manfaat Sertifikasi Guru adalah melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi guru serta melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan tidak profesional.
Dasar utama dari Sertifikasi Guru adalah UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang disyahkan tanggal 30 Desember 2005. Yakni dalam Pasal 8 berbunyi : “Guru wajib memiliki kualitas akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.
Pasal lainnya adalah Pasal 11 ayat (1) menyebutkan bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Landasan Hukum lainnya adalah UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Menteri Pendidikan nasional Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan yang ditetapkan pada tanggal 4 Mei 2007. (Uncchu Ong)